Penawar iri
Jadi
bagaimana kalau kita dihinggapi rasa iri? Sebuah jawaban yang membuat
saya terkesan ada di buku karya ulama Al-Ghazali yang kalau tidak salah
berjudul Rahasia Shalat. Diceritakan tentang seorang raja yang
berkeliling di wilayahnya dan kemudian bertemu dengan seorang rakyatnya
yang miskin papa. Alkisah, si raja yang baik hati itu kemudian
memberikan rumah kepada orang tersebut. Tak lama kemudian datanglah
orang lain yang juga miskin papa, kali ini sang raja memberinya seekor
kuda putih yang sangat bagus.
Lalu orang pertama tersebut protes kepada raja, “Raja, kenapa kau beri orang itu kuda putih yang bagus?”
“Memangnya kenapa?” tanya raja keheranan.
“Raja,”
kata orang pertama tadi,” bukankah aku yang punya rumah lebih pantas
bila juga memiliki kuda putih itu? Bukankah lebih pantas bila kuda
dipasangkan dengan rumah sehingga menjadi lengkap?” demikian jelas orang
tersebut.
Apa
yang Anda rasakan ketika mendengar argumen orang ini? Memalukan! Jelas
sangat tidak pantas, seseorang yang hanya diberi rumah (sudah untung
diberi rumah oleh raja, dan itu juga karena kemurahan hati sang raja
bukan karena prestasi orang tersebut), eh masih pula minta kuda.
Benar-benar tak tahu malu, diberi hati minta ampela. Memangnya dia punya
prestasi apa sehingga sang raja ‘wajib’ memberi pula dia kuda?
Memangnya apakah salah kalau raja memberikan kuda putihnya untuk orang
lain? Kalaupun dia berprestasi, memangnya raja harus memberi kuda?
Memangnya raja sudah janji demikian?
Itulah
analogi yang pas sekali dengan kehidupan kita ini. Selama ini semua
yang kita dapat dan kita miliki sering dianggap murni prestasi kita.
Memangnya Tuhan tidak punya peran? Selama ini juga kita selalu merasa
berhak atas suatu hasil sesuai dengan keinginan kita. Memangnya Tuhan
menjanjikan secara jelas hal itu? Kalau kita pintar, memangnya Tuhan
menjanjikan kita akan kaya? Kalau kita tampan, memangnya Tuhan berjanji
memberi istri cantik? Bahkan kalau kita berdoa memangnya Tuhan janjikan
akan dikabulkan selalu dalam bentuk yang kita minta? Tidak ada janji
seperti itu. Yang ada adalah, bila kita berilmu maka Allah akan
mengangkat derajat kita, dan itu bukan berarti berwujud kekayaan.
Derajat yang tinggi (di mata Tuhan) bukan berwujud kekayaan, pangkat
yang tinggi, atau ketenaran. Kalau menurut saya, derajat yang tinggi
salah satunya adalah nama baik seseorang, yang karena keberadaannya itu
orang lain di sekitarnya menjadi senang dan diam-diam bersyukur karena
orang tersebut ada dan mendoakannya. Itulah janji yang Tuhan berikan,
bahwa orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya. Janji Tuhan
lainnya adalah kalau kita bertakwa, maka akan diberi jalan keluar dari
kesulitan dan rizki dari arah yang tak disangka-sangka. Janji Tuhan juga
bila kita meminta pasti dikabulkan, asalkan kita menjalankan
perintah-Nya, namun tidak dijanjikan diberi dalam bentuk seperti kemauan
kita. Tidak pernah Tuhan janjikan wujud-wujud fisik, namun yang
dijanjikan adalah yang non-fisik seperti derajat di mata Tuhan dan
pertolongan atas kesulitan-kesulitan dalam kehidupan. Dan janji Tuhan
itu pasti ditepati.
Jadi
kalau kita mengalami iri negatif (berupa munculnya protes kepada Tuhan
kenapa kita tidak diberi nikmat seperti orang lain, atau bahkan dengki
yaitu harapan agar orang lain kehilangan nikmat yang dimiliki) tentu ini
disebabkan karena : kita merasa berhak atas nikmat itu! Perasaan ini
bisa muncul dari kesombongan (merasa lebih baik daripada orang lain),
serta menganggap dunia ini serba berkekurangan (sehingga kalau nikmat
itu sudah jatuh ke orang lain, maka akan berkurang jatah nikmat untuk
kita).
Ada tiga kiat sederhana untuk mengelola iri hati.
Kiat
pertama, cukup dengan bertanya kepada diri sendiri, “Memangnya siapa
aku ini, boleh merasa lebih tahu dari Tuhan?” Memangnya siapa aku ini
yang bisa menganggap bahwa wajah tampan harus ketemu wajah cantik, otak
pintar ketemu dengan pangkat tinggi, kerja keras harus ketemu dengan
kekayaan? Memangnya siapa aku ini merasa punya hak menuntut hadiah dari
‘Sang Raja’ sesuka-suka hati?
Dulu
sekali ada teman saya yang berwajah biasa-biasa saja, eh istrinya
cantik. Hebohlah teman-teman yang lain (termasuk juga saya, haha). Lalu
saya berpikir, emangnya siapa saya yang merasa pantas menilai si anu
harus menikah dengan si anu. Si anu karena cantik mestinya memilih si
anu yang tampan, biar pantas. Sejelek-jeleknya milih saya saja, jangan
si itu. De el el. Memangnya siapa saya ini, yang bisa membuat keputusan
bagi orang lain (ya si gadis cantik itu) dalam menentukan cintanya?
Memangnya siapa saya ini, yang pantas menilai bahwa si anu itu karena
tidak tampan maka tidak berhak istrinya cantik? De el el. Jadilah saya
sadar diri, ini gangguan iri negatif, isi hasutan buruk dalam hati.
Astaghfirullah. Kalau memang ingin, ya cari, usaha saja, nggak usah iri.
Kiat
kedua, kita harus yakin bahwa nikmat Tuhan itu berkelimpahan. Dunia ini
serba berkelimpahan. Kalaupun banyak orang lain sudah diberi nikmat,
Tuhan masih punya banyak jatah stok buat kita ini. Tuhan Maha Kaya, tak
pernah kekurangan. Jadi tak pelu bersikap negatif dengan milik orang
lain, biar saja, toh masih banyak stok buat kita. Pertanyaannya adalah,
harus menjadi seperti apa kita agar Tuhan memberi hadiah nikmat yang
sama buat kita? Biarkan saja orang lain dengan apa yang dimilikinya,
kalau juga ingin lebih baik kita fokus pada mengusahakan nikmat buat
kita sendiri. Dunia ini berkelimpahan. Kalau rumput tetangga tampak
lebih hijau, coba evaluasi jangan-jangan kita memang tidak merawat
rumput kita dengan baik. Sirami dong. Kalau ternyata memang tanah kita
tandus, ya dipupuk, kalau memang susah dipupuk, ya berhijrahlah
(berpindahlah), siapa suruh Anda di situ? Jangan-jangan rumput kitapun
sama hijaunya, tapi kita tidak sadar!
Pernah
saya berpikir, kok saya ini milih kerja jadi guru. Kan enak kalau kerja
di perusahaan besar. Seorang teman pernah berkomentar, “Orang sepintar
kamu ini karirnya pasti bagus di perusahaan besar,” katanya memberi
sugesti. Lah, jangan-jangan iya! Tapi, jangan-jangan tidak juga. Saya
memiliki ‘kemewahan-kemewahan’ saya sendiri dengan kondisi yang
sekarang, yang mungkin akan berbeda ketika bekerja di perusahaan besar
itu. Tapi, jangan-jangan di perusahaan besar juga memang betul enak
kondisinya (jadinya saya iri). Nah, kan sama-sama tidak tahu. Jadi,
kalau memang tidak puas dengan kondisi sekarang (karena tanahnya
tandus), dan tidak juga menemukan cara membuat lebih enak (dipupuk tetap
tandus), ya pindah saja. Memangnya siapa suruh saya di sini? Ternyata
jawabannya : saya yang memilih untuk di sini, jadi guru. Dan setiap
pilihan membawa konsekuensinya masing-masing. Kalau tidak suka dengan
konsekuensinya, ya silahkan pindah saja, dunia ini luas.
Kiat
ketiga. Pilih-pilih apa yang membuat kita iri. Maksudnya, pilih saja
sesuatu yang bisa kita pengaruhi kondisinya. Misalnya, iri terhadap
prestasi orang lain. Prestasi bergantung pada usaha kita, jadi kalau
kita iri terhadap prestasi orang lain kita bisa mengusahakan hal yang
sama seperti orang lain itu. Yang salah misalnya, iri pada ketampanan
Tom Cruise. Ketampanan itu sudah pemberian dari sono, sedikit sekali
pengaruh dari usaha kita.
Secara
tak sadar kita sering membandingkan, wah si anu mobilnya bagus, dia
memang kerja di Telkomsel (misalnya). Kalau Anda juga di Telkomsel
tentunya Anda layak membandingkan demikian. Kalau tidak di Telkomsel, ya
jangan dibandingkan, kondisinya beda kok. Kalau Anda dosen, ya
pantasnya membandingkan diri dengan dosen yang lain. Kalau Anda karyawan
perusahaan besar, ya bolehlah membandingkan dengan karyawan yang lain.
Tentu saja kita pilih pembandingan yang bisa kita pengaruhi, dengan
tujuan untuk mendorong diri kita ini agar juga punya prestasi yang sama.
Memilih untuk membandingkan kecantikan atau ketampanan pasangan
termasuk jenis pembandingan yang keliru. Kan setiap orang dikaruniai
fisik yang berbeda dan kondisi yang beda? Nah, ketampanan itu adalah
sesuatu yang unik sehingga tak layak dibandingkan. Lebih tepat kalau
kita membandingkan bahwa si anu itu merawat diri (berhias, tampil
cerah), yang kemudian kita ikuti dengan prestasi yang sama (merawat
diri, tampil cerah). Karena mampu kita pengaruhi, maka iri hati tersebut
dapat kita ubah menjadi iri positif.
Jadi
3 kiat sederhana itu adalah : rendah hati terhadap pemberian Tuhan
(jangan suka menilai, bertindaklah netral), yakin nikmat itu berlimpah
(masih banyak nikmat buat kita, hindari dengki), dan benar memilih
pembandingan yang layak (yaitu yang bisa kita pengaruhi).
Iri
itu boleh kok. Iri hati positif itu boleh, sedangkan iri hati negatif
itu yang dilarang. Jadi, kalau kita mengalami rasa iri, yang perlu kita
lakukan adalah menyadari bahwa boleh jadi kita ini memang belum pantas
atas nikmat itu. Yah, mungkin saja karena berbagai hal yang kita tidak
tahu, dan Tuhan yang lebih tahu tentang itu. Selanjutnya, kita coba ubah
semua bentuk iri negatif itu menjadi iri positif, yaitu dorongan untuk
berprestasi maksimal yang mudah-mudahan membuat Tuhan berkenan lalu
memberi kita hadiah yang sama. Iri positif itu dianjurkan loh, bukankah
ada hadits, “Berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” Nah, kalau iri
terhadap prestasi amal orang lain, jelas ini iri yang sangat positif.
Jadi, selamat menjadi iri, iri yang positif!